Perkembangan Teknologi Komunikasi

Sii Empunya blog ialah Puspita Utami Sofyan dan Nathassa Ardilla W. yang merupakan mahasiswi Ilmu Komunikasi, Jurusan Public Relations di Universitas Esa Unggul, Jakarta Barat... Blog ini berisi mengenai Sejarah dan Perkembangan Media Komunikasi dari dahulu hingga sekarang dengan perkembangannya.

Blog ini juga sebagai tugas kami di mata kuliah PERTEKOM (Perkembangan Teknologi Komunikasi) dengan dosen pembimbing mata kuliah ini ialah Bapak Dani Vardiansyah Drs. M.Si.

Kami berharap blog ini juga dapat menjadi bahan masukan para pembaca untuk mengetahui sejarah media komunikasi..Maaf apabila terdapat kekurangan informasi didalamnya..Kritik dan saran kami harapkan sebagai acuan kami menjadi lebih baik. Terima Kasih.

Kamis, 14 Juli 2011

Ecology Media by Marshall Mc Luhan

HISTORICAL EKOLOGI MEDIA
Neil Postman adalah tokoh yang pertama memperkenalkan secara formal istilah Ekologi Media pada tahun 1968. Stephen W. Little John menyebutnya dengan nama Teori Medium. Beberapa pakar bahkan ada yang menamainya Teori Determinisme Teknologi. Istilah yang terakhir ini tidak terlalu mendapat tanggapan karena terkesan berlebihan. Dasar dari teori ini adalah sebuah pernyataan yaitu: “khalayak seolah digambarkan bersifat pasif dan terpisah dengan teknologi”. Padahal dalam konsep teori ini, khalayak justru dapat memperoleh kemampuan aktif dan tidak terpisahkan dengan media.
Menurut Ricard West dan Lynn H. Turner (2008), Lance Strate mendefinisikan Ekologi Media sebagai:
“Kajian mengenai lingkungan media, ide bahwa teknologi dan teknik, mode penyampaian informasi dan kode komunikasi memainkan peran utama dalam kehidupan manusia”.
Adapun penamaan Teori Medium diberikan karena secara khusus dalam teori ini dikenal istilah “medium adalah pesan” (medium is the message)[1].
Dalam perspektif teori ini, bukan pesan yang mempengaruhi kesadaran kita tetapi medium. Mediumlah yang lebih besar mempengaruhi bawah sadar kita. Medium membentuk pesan, bukan sebaliknya.
Misalnya:
Berita demostrasi di Mesir yang menuntut mundurnya Presiden Husni Mubarak pada akhir Januari – Februari 2011.
Bandingkan respon publik jika mereka diterpa berita itu melalui koran dengan televisi. Koran adalah medium. Televisi adalah medium. Untuk pesan yang sama seperti berita demostrasi di Mesir, apakah medium itu juga mempengaruhi kesadaran kita dengan kualitas yang sama?
Konsep dasar teori ini pertama kali dikemukakan oleh Marshall McLuhan (1964). Pemikirannya banyak dipengaruhi oleh mentornya, ekonom berkebangsaan Canada, Harold Adams Innis (1951).
McLuhan adalah ilmuwan sekaligus kritikus sastra berkebangsaan Canada. Ia menggunakan puisi, fiksi, politik, teater musikal dan sejarah untuk menunjukkan bahwa teknologi yang menggunakan media membentuk perasaan, pikiran, dan tindakan manusia. McLuhan menyatakan bahwa kita memiliki hubungan yang sifatnya simbiosis dengan teknologi yang menggunakan media. Manusia menciptakan teknologi, dan sebaliknya teknologi tadi membentuk manusia. Inilah yang menjadi konsep dasar dari teori ekologi media.

Asumsi teori ekologi media
1.      Media melingkupi setiap tindakan di dalam masyarakat atau Dalam sebuah media yang terpenting adalah teknologinya, bukan isinya.
Dalam perspektif McLuhan, media tidak dilihat dalam konsep yang sempit, seperti surat kabar / majalah, radio, televisi, film, atau internet. Dalam konsep yang luas, McLuhan melihat medium sebagai apa saja yang digunakan oleh manusia. Termasuk jam dingding, angka, uang, jalan, bahkan permainan adalah medium. Jadi maksud disini adalah:
Dalam berkomunikasi, manusia mungkin saja tidak menggunakan media massa. Tetapi mereka tidak dapat menghindarkan diri dari berkomunikasi dengan menggunakan suara, kata, isyarat, yang memediasi mereka dalam menyampaikan pesan (baca: medium).
Contoh:
Dalam keadaan sendiri di hutan belantara, gurun, atau laut sekali pun, manusia senantiasa dikelilingin medium yang membawa pesan yang dapat diinterpertasikannya. Meski medium itu hanya berupa suara binatang, gemuruh angin, atau riak gelombang.
Kisah radio dan televisi sebenarnya menjadi dasar teori ini lahir. Jauh sebelum TV ditemukan orang lebih familiar dengan radio dan koran, dan saat itu kedua media massa itulah yang merajai masyarakat.
Namun, ketika televisi lahir, masyarakat pun berbondong-bondong meninggalkan radio dan koran yang dianggap isinya tidak lagi memenuhi kebutuhan masyarakat. Yang sebenarnya terjadi, bukan isinya lah yang dinikmati oleh masyarakat, tetapi teknologi yang ditawarkan oleh televisi itu sendiri.
Berbeda dari radio dan koran yang hanya mengusung teknologi audio atau teknologi visual saja, maka televisi kala itu hadir dengan kombinasi hebat dari dua teknologi tersebut: audio dan visual. Inilah yang menjadikan televisi kemudian hadir menggantikan radio dan koran kala itu.
2.      Media memperbaiki persepsi kita dan mengorganisasikan pengalaman.
Dalam asumsi kedua teori Ekologi Media melihat media sebagai sesuatu yang langsung mempengaruhi manusia. Cara manusia memberi penilaian, merasa, dan bereaksi cenderung dipengaruhi oleh media. Dalam asumsi ini McLuhan menilai media cukup kuat dalam membentuk pandangan kita atas dunia.
Itulah mengapa kita menyebutnya EKOLOGI. “Ekologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara organisme dengan lingkungannya.”[2] Media akan terus berubah seiring dengan pertumbuhan dan dinamisme masyarakat, akan terus berubah seiring dengan kebutuhan masyarakat. Dan sebaliknya, masyarakat pun berubah mengikuti perubahan media. 
3.      Media menyatukan seluruh dunia.
Dalam asumsi ketiga teori ekologi media menyatakan bahwa setiap pertistiwa atau hal yang dilakukan di belahan dunia lain, dapat diketahui atau menjalar ke belahan dunia lain. Akibat dari hal tersebut, McLuhan menyebut, manusia kemudian hidup di sebuah desa global (global village). Media seolah mengikat dunia menjadi sebuah kesatuan sistem politik, ekonomi, sosial, dan budaya yang besar.
Konsep Global Village berarti tidak akan ada lagi batasan antar belahan dunia manapun untuk saling mengetahui kegiatan satu sama lain. Apa yang terjadi di belahan Kutub Utara misalnya dalam hitungan sepersekian detik akan dengan mudah diketahui pula oleh masyarakat di belahan Kutub Selatan. Dengan adanya internet, membuat kita mempermudah semua hal itu. Dengan menggunakan social media¸memudahkan kita untuk berinteraksi dengan SIAPAPUN dan DIMANAPUN.

Memahami Sejarah Media
ERA TRIBAL
“Era dimana tradisi lisan dianut dan pendengaran merupakan indra yg sangat penting”.
Orang belum mengenal tulis menulis. Di masa ini, menurut McLuhan, budaya berpusat pada telinga. Orang mendengar tanpa memiliki kemampuan untuk menyensor pesan-pesan. Konteks komunikasi hanya bersifat tatap muka.Ini yang membawa masyaraka kolektif.
ERA MELEK HURUF
“Era dimana komunikasi tertulis berkembang pesat dan mata menjadi  indra yg dominan”.
Era  ini ditandai dengan pengenalan abjad. Konteks komunikasi sosial sudah bersifat tidak langsung karena dapat diwakili oleh tulisan. “Dunia tertulis” memberi konsekuensi lahirnya masyarakat individualistis.


ERA CETAK
“Era dimana mendapatkan informasi melalui kata-kata tercetak  dan penglihatan merupakan indra yang dominan”.
Di era ini McLuhan menyebut buku sebagai “mesin pengajar pertama”. Segala macam tulisan dapat diduplikasi dengan jumlah yang banyak. Di era ini teknologi yang utama adalah percetakan dengan mengandalkan penglihatan sebagai indera yang dominan. Sama dengan era melek huruf.
ERA ELEKTRONIK
“Era dimana media elektronik melingkupi semua indra kita,memungkinkan orang-orang di seluruh dunia untuk terhubung”.
Dalam era ini Media menjadi perpanjangan hampir seluruh indera manusia. Telepon dan radio perpanjangan tradisi lisan. Televisi perpanjangan penglihatan dan pendengaran. Komputer / internet juga hadir sebagai perpanjangan seluruh indera dengan menggabungkan ragam media (cetak, audio, visual) hingga ia disebut multimedia.
Komputer merupakan hal yang paling luar biasa dari semua busana teknologi yang pernah diciptakan karena komputer merupakan perpanjangan dari sistem syaraf pusat kita.

MEMPERKIRAKAN TEMPERATUR MEDIA
Untuk memahami perubahan structural besar dalam pandangan hidupa manusia (McLuhan, 1964, hal VI) McLuhan mengklasifikasikan media menjadi 2 jenis yaitu:
1.      MEDIA PANAS
Media Panas (Hot Media) adalah media yang menuntut sedikit dari pendengar, pembaca atau para penonton. Pada intinya, manusia tidak dituntut apa-apa hanya menikmati yang sudah ada.
Contohnya:
·         Ketika kita sedang menonton bioskop, kita akan duduk, menonton, bereaksi ketika ada adegan-adegan tertentu atau sampai menmbaca running text pembuatan film tersebut.
2.      MEDIA DINGIN
Media Dingin (Cool Media) adalah media yang membutuhkan proses pelengkapan atau membutuhkan tingkat partisipasi yang sangat tinggi. Dengan kata lain, media ini memiliki definisi yang rendah. Maksudnya, media dingin menuntut khalayak untuk memaknai setiap hal yang disuguhkan oleh media dan melengkapinya sehingga khalayak mengerti apa maksud dari media tersebut.
Contohnya:
·         Gambar Karikatur. Gambar Karikatur ini memiliki definisi yang rendah karena memiliki sedikit informasi visual yang bisa membuat langsung mengerti. Bahkan kita harus bersusah payah menyediakan ide untuk melengkapi arti dari gambar tersebut.

HUKUM MEDIA
Hukum Media (Law of Media) juga merupakan turunan dari McLuhan setelah meneliti adanya pergeseran yang cukup significant terhadap ketertarikan manusia pada setiap era. Hukum tersebut dibagi menjadi 4 bagian, yaitu:
1.      PENINGKATAN (ENHASEMENT)
Hukum peningkatan disini adalah adanya peningkatan dalam masyarakat yang memperkuat tingkat kecerdasan, eksistensi dan bahkan pla hidupnya. Pegeseran tersebut membuat manusia sangat peka terhadap tekhnologi.
Contohnya adalah:
Adanya perkembangan yang cukup signifikan dalam dunia internet dimana saat ini internet bisa membuka cakrawala pikiran manusia untuk melakukan kontak tanpa adanya keterbatasan.
2.      KETINGGALAN ZAMAN (OBSOLESCENCE)
Hukum media yang satu ini memiliki arti bahwa pada masa tertentu, tekhnologi yang kita kuasai tiba-tiba akan menjadi sesuatu yang kuno dan ketinggalan jaman.
Contohnya:
Dahulu Televisi Hitam Putih pada tahun 1960-an merupakan benda dewa yang diagung-agungkan manusia. Tapi saat ini teknologi TV tersebut sudah menjadi teknologi kuno karena saat ini berkembang televisi berwarna dan bahkan layar datar bukan lagi tabung.
3.      PENGAMBILAN KEMBALI (RETRIEVAL)
Hukum yang yang ketiga lebih kepada terjadinya proses pengambilan kembali sesuatu yang pernah ada kemudian hilang kemudian mengalami pembaharuan, perbaikan dan penyempurnaan.
Contohnya:
            Percakapan muka atau direct conversation bisa digantikan dengan system face-to-face online dengan menggunakan SKYPE.
4.      PEMUTARBALIKAN (REVERSAL)
Hukum yang ketika ini lebih berbicara pada pola sick and cure. Sick and cure berbicara tentang media bisa jadi sumber malapetaka dan bisa menjadi malaikat penolong bagi penggunanya.
Contohnya:
Kasus Video asusila Luna Maya dan Ariel Peterpan yang diberitakan oleh beberapa media televisi menjadi sebuah senjata pemusnah karier bagi oknum yang terlibat. Tetapi dari sana pula timbul sebiuah gelombang pro Ariel yang berusaha membela Ariel dengan membuat statement bahwa Ariel hanyalah korban.







Efek ekologi media :

Perkembangan teknologi telah membawa kita pada era komunikasi massa sejak ditemukannya mesin cetak Guttenberg yang memungkinkan diproduksinya buku-buku secara massal sampai mencapai puncaknya setelah ditemukannya internet. Penemuan Guttenberg mendorong terbitnya surat kabar pertama. Setelah revolusi industri dan teknologi, listrik yang memacu energi pabrik dan transportasi, melandasi muncul dan berkembangnya radio, film, dan televisi yang pada perkembangan selanjutnya menciptakan teknologi informasi yang multimedia seperti jaringan internet.
Sejak tahun 1964 komunikasi massa telah mencapai publik dunia secara langsung dan serentak. Melalui satelit komunikasi sekarang ini kita dimungkinkan untuk menyampaikan informasi (pesan) berupa data, gambar, maupun suara kepada jutaan manusia di seluruh dunia secara serentak. Perkembangan teknologi komunikasi/informasi yang bergerak cepat membawa kita menuju era masyarakat informasi, dimana hampir segala aspek kehidupan dipengaruhi oleh keberadaan media yang semakin jauh memasuki ruang kehidupan manusia.
Wilbur Schramm menyatakan bahwa luas sempitnya ruang kehidupan seseorang, yang awalnya ditentukan pada kemampuan baca tulis, selanjutnya ditentukan oleh seberapa banyak ia bergaul dengan media massa. Artinya media memiliki pengaruh yang signifikan pada kehidupan manusia.
Sejauh mana dampak media terhadap khalayaknya memang masih menjadi bahan perdebatan. Elisabeth Noelle-Neumann adalah salah satu sarjana yang menganut konsep efek perkasa media massa. Ia menyebutkan bahwa media massa bersifat ubiquity, artinya serba ada. Media massa mampu mendominasi lingkungan informasi dan berada di mana-mana. Karena sifatnya yang serba ada, agak sulit orang menghindari pesan media massa. Sementara Richard T. La Pierre berpendapat bahwa media massa baru akan benar-benar berpengaruh jika sebelumnya ia berhasil menjalin kedekatan dengan khalayaknya.
Untuk itu diperlukan pendekatan lain dalam melihat efek (dampak) media massa. Selain berkaitan dengan pesan dan media itu sendiri, menurut Steven M. Chaffee, pendekatan kedua ialah melihat jenis perubahan yang terjadi pada diri khalayak komunikasi massa – penerimaan informasi, perubahan perasaan atau sikap, dan perubahan perilaku; atau dengan istilah lain, perubahan kognitif, afektif, dan behavioral. Pendekatan ketiga meninjau satuan observasi yang dikenai efek komunikasi massa – individu, kelompok, organisasi, masyarakat, atau bangsa.
Mahasiswa sebagai bagian dari kalangan muda dan terpelajar pada umumnya dianggap memiliki akses terhadap media lebih banyak dibandingkan masyarakat biasa. Berbagai studi juga berkesimpulan bahwa secara umum orang berpendidikan lebih banyak menggunakan media, meskipun ada variasi untuk media tertentu. Penggunaan koran berbanding lurus dengan tingkat pendidikan, demikian pula dengan majalah dan buku. Meskipun demikian, tingkat pendidikan ternyata tidak banyak berhubungan dengan pemilihan media elektronik atau media siaran.
Namun harus diakui bahwa budaya minat baca di Indonesia masih tergolong rendah, apalagi buku lebih mahal dibandingkan media jenis lainnya. Media elektronik lebih dekat dengan masyarakat kita, tak terkecuali mahasiswa, yang menyebabkan pengaruhnya jauh lebih besar dibandingkan media cetak.
Fakta yang telah disebutkan di atas menunjukkan bahwa khalayak tidaklah pasif. Khalayak dianggap aktif menggunakan media untuk memenuhi kebutuhannya (uses and gratification).
Penulis melakukan wawancara dengan sepuluh orang mahasiswa yang merupakan teman-teman yang penulis sendiri untuk melihat bagaimana pengaruh media terhadap mereka.






EFEK KEHADIRAN MEDIA MASSA
McLuhan mengatakan bahwa “Media adalah pesan itu sendiri”, yang dimaksud adalah apa yang disampaikan media kepada masyarakat ternyata lebih dari apa yang akan diterima masyarakat itu jika mereka berkomunikasi tanpa media. Artinya adanya materi cetak lebih penting dari kandungan maksud yang disampaikannya, dan keberadaan televisi lebih penting daripada apa yang ditayangkannya.
Kita tidak harus setuju dengan McLuhan, misalnya bahwa isi pesan tidak sepenting media itu sendiri, namun kita sepakat tentang adanya efek media massa dari kehadirannya sebagai benda fisik. Steven H. Chaffee menyebut lima hal: 1) Efek ekonomis, 2) efek sosial, 3) efek pada penjadwalan kegiatan, 4) efek pada penyaluran/penghilangan perasaan tertentu, dan 5) efek pada perasaan orang terhadap media.
Efek ekonomi sudah jelas, bahwa kehadiran media massa menggerakkan berbagai usaha. Efek sosial berkenaan dengan perubahan pada struktur atau interaksi social akibat kehadiran media massa.
Efek ketiga, penjadwalan kembali kegiatan sehari-hari, terjadi terutama dengan kehadiran televisi. Kehadiran televisi dapat mengurangi waktu bermain, tidur, membaca, dan menonton film. Gejala ini disebut oleh Joyce Cramond (1976) sebagai “displacement effects” (efek alihan) yang ia definisikan sebagai reorganisasi kegiatan yang terjadi karena masuknya televise; beberapa kegiatan dikurangi dan beberapa kegiatan lainnya dihentikan sama sekali karena waktunya dipakai untuk menonton televisi.
Dua efek lainnya yaitu, hilangnya perasaan tidak enak dan tumbuhnya perasaan tertentu terhadap media massa. Sering terjadi orang menggunakan media untuk menghilangkan perasaan tidak enak, misalnya kesepian, marah, kecewa, dan sebagainya. Media dipergunakan tanpa mempersoalkan isi pesan yang disampaikan.
Kehadiran media massa juga menumbuhkan perasaan tertentu. Kita memiliki perasaan positif atau negatif pada media tertentu. Tumbuhnya perasaan senang atau percaya pada media massa tertentu mungkin erat kaitannya dengan pengalaman individu bersama media massa tersebut; boleh jadi faktor isi pesan mula-mula amat berpengaruh, tetapi kemudian jenis media itu yang diperhatikan, apa pun yang disiarkannya.
Efek kehadiran media massa secara fisik pada kalangan mahasiswa yang paling menarik adalah efek penjadwalan kembali kegiatan sehari-hari. Kehadiran televisi sangat dominan mengubah jadwal kegiatan sehari-hari mereka seperti waktu bermain, tidur membaca, atau kegiatan lainnya.
Hampir seluruh mahasiswa yang penulis wawancarai lebih memilih menonton televisi ketimbang membaca buku. Dari sepuluh orang yang diwawancarai, hanya satu orang saja yang seimbang membagi waktu antara membaca buku dan menonton televisi. Waktu untuk membaca buku kadang-kadang terganggu oleh hadirnya acara yang menarik di televisi.
Jadwal tidur pun tergantung pada kehadiran acara tertentu di televisi. Seorang mahasiswa mengaku baru tidur pada dini hari karena acara tertentu hanya disiarkan selepas tengah malam. Sementara mahasiswa lain mengubah jadwal bangun tidurnya menjadi lebih pagi untuk menonton news pagi atau infotainment. Pada jam-jam tertentu seperti pukul 20.00 sampai dengan 22.00, kebanyakan mereka berada di dalam rumah untuk menonton acara (prime time) yang memang mendapat rating tinggi.
Tiga dari sepuluh mahasiswa bekerja di luar jam kuliah. Namun waktu yang dua di antara mereka habiskan untuk menonton televisi juga tidak berbeda jauh dari mereka yang tidak bekerja. Artinya mereka meluangkan waktu untuk menonton televisi dan mengurangi waktu mereka untuk kegiatan lainnya.
Efek alihan juga tidak hanya terjadi pada televisi saja. Seorang responden lebih banyak menghabiskan waktu menonton DVD selama berjam-jam pada malam hari sehingga waktu tidurnya berkurang banyak. Dampak yang terjadi adalah terlambat masuk kuliah atau tidak masuk karena kelelahan. Waktu untuk kegiatan lainnya pun praktis berkurang banyak, seperti tak ada waktu untuk membaca buku, belajar, sampai mengerjakan tugas kuliah. Kecanggihan teknologi multimedia juga mampu membuat seseorang merelakan waktu bermainnya. Seorang responden yang memiliki kegiatan berorganisasi di luar jam kuliah ternyata juga tidak mengurangi waktunya untuk menonton televisi. Selain menonton televisi, ia juga banyak menghabiskan waktunya untuk membaca buku atau browsing di internet. Akibatnya ia tidak memiliki cukup waktu untuk bermain atau bersantai.
Dari sepuluh mahasiswa hanya dua orang yang tidak banyak mengalami efek kehadiran media massa secara fisik. Satu orang memiliki pekerjaan di luar jam kuliah, sementara seorang lagi mengaku lebih banyak menghabiskan waktu untuk beristirahat karena jarak antara kampus dan rumahnya cukup jauh.
Efek kehadiran media selanjutnya adalah hilangnya perasaan tidak enak dan tumbuhnya perasaan tertentu terhadap media massa. Seorang mahasiswa mengatakan bahwa ia membaca buku sebelum tidur untuk membantunya lebih mudah mengantuk. Ia tidak mempersoalkan isi pesan yang terkandung di dalam buku atau majalah yang ia baca selama itu bisa membantunya tidur.
Kehadiran media massa juga menumbuhkan perasaan tertentu. Tujuh orang mahasiswa memiliki perasaan positif pada televisi, sementara tiga lainnya menyatakan kecintaannya dalam menonton televisi dimana seorang di antara mereka bahkan menghabiskan waktu 12 jam sehari untuk menonton televisi. Hanya tiga orang yang memiliki perasaan yang sama terhadap buku, terutama buku-buku pengembangan diri, agama, dan komik. Dalam setahun kesepuluh orang mahasiswa hanya membeli rata-rata 5 buku dalam setahun. Di antara mereka hanya dua orang yang membeli di atas sepuluh buku dalam setahun, diantaranya termasuk komik. Komik adalah jenis media cetak yang paling dekat dengan mahasiswa yang penulis wawancarai dibandingkan jenis media cetak lainnya. Sementara seorang mahasiswa lebih memilih media cetak seperti majalah dan surat kabar yang menurutnya lebih dekat dengan kehidupannya sehari-hari.






EFEK KOGNITIF MEDIA MASSA
Kognisi adalah semua proses yang terjadi di fikiran kita yaitu, melihat, mengamati, mengingat, mempersepsikan sesuatu, membayangkan sesuatu, berfikir, menduga, menilai, mempertimbangkan dan memperkirakan. Media mempunyai pengaruh yang sangat kuat dalam pembentukan kognisi seseorang. Media memberikan informasi dan pengetahuan yang pada akhirnya dapat membentuk persepsi.
Wilbur Schramm (1997:13) mendefinisikan informasi sebagai segala sesuatu “yang mengurangi ketidakpastian atau mengurangi jumlah kemungkinan alternatif dalam situasi.” Informasi akan menstruktur atau mengorganisasi realitas, sehingga realitas tampak sebagai gambaran yang mempunyai makna.
Realitas yang ditampilkan media adalah realitas yang sudah diseleksi atau realitas tangan-kedua (second hand reality). Karena media massa melaporkan dunia nyata secara selektif, dampaknya adalah memberikan status dan menciptakan stereotip. Para kritikus social memandang media massa bukan saja menyajikan realitas kedua, tetapi karena distorsi, media massa juga “menipu” manusia; memberikan citra dunia yang keliru. Tetapi pengaruh media massa tidak berhenti sampai di situ. Media massa juga mempertahankan citra yang sudah dimiliki khalayaknya.
Dampak media massa – kemampuan untuk menimbulkan perubahan kognitif di antara individu-individu – telah dijuluki sebagai fungsi agenda setting dari komunikasi massa. Di sinilah terletak efek komunikasi massa yang terpenting, kemampuan media untuk menstruktur dunia buat kita (McCombs danShaw, 1974:1). Media massa mempengaruhi persepsi khalayak tentang apa yang dianggap penting. Media massa memang tidak menentukan “what to think”, tetapi mempengaruhi “what to think about”. Dengan memilih berita tertentu dan mengabaikan yang lain, dengan menonjolkan satu persoalan dan mengesampingkan yang lain, media membentuk citra atau gambaran dunia kita seperti yang disajikan dalam media massa.
Selain terbukti sanggup membentuk citra orang tentang lingkungan dengan menyampaikan informasi, kita juga dapat menduga media massa tertentu berperan juga dalam menyampaikan pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai yang baik. Ini disebut efek prososial kognitif dari media, yaitu bagaimana media massa memberikan manfaat yang dikehendaki oleh masyarakat.
Media massa adalah penyampai informasi sekaligus penafsir informasi. Dengan media massa kita memperoleh informasi tentang benda, orang, ruang atau waktu yang tidak kita alami secara langsung. Namun media pun melakukan seleksi terhadap realitas yang hendak ditampilkan, sehingga dampaknya adalah menimbulkan perubahan kognitif tertentu di antara individu-individu khalayaknya.
Hampir seluruh mahasiswa yang penulis wawancarai mengkonsumsi media sebagai hiburan. Fungsi informatif media terutama televisi hanya menempati posisi kedua. Sementara pengetahuan serta wawasan yang didapat dianggap sebagai “bonus” dari menonton televisi. Enam dari sepuluh orang memasukkan news sebagai salah satu acara yang ditonton setiap hari, selebihnya adalah acara hiburan seperti infotainment, musik, komedi, film, film kartun dan reality show. Seorang mahasiswa menyebutkan bahwa ia juga menonton acara talk show selain news dan hiburan.
Acara news dan talk show membantu mahasiswa untuk mengenali permasalahan atau peristiwa yang tengah terjadi di dunia atau minimal di dalam negeri. Enam orang rutin mengikuti acara news di televisi, sementara dua di antaranya juga aktif membaca surat kabar. Efek terhadap kognisi dari enam mahasiswa ini dapat diamati dari cara pandang mereka terhadap sesuatu. Dua orang yang membaca surat kabar serta menonton news di televisi relatif memiliki wawasan yang lebih luas di antara yang lainnya. Informasi yang disajikan televisi, khususnya saluran televisi berita terbukti berguna bagi dua orang yang merupakan mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik.
Sesuai dengan teori agenda setting, media massa mempengaruhi persepsi khalayak tentang apa yang dianggap penting. Penonton berita memiliki pengetahuan dan ketertarikan yang sama tentang suatu persoalan yang sedang ditampilkan oleh media massa. Demikian pula yang terjadi pada pemirsa infotainment, bahan pembicaraan mereka berkisar seputar artis yang sedang gencar ditampilkan di acara infotainment.
Media massa memilih informasi yang dikehendaki dan berdasarkan informasi yang diterima, khalayak membentuk persepsinya tentang berbagai peristiwa. Dampaknya mahasiswa yang memilih media televisi memperoleh informasi secara tidak lengkap, karena media siaran merupakan media penyampai informasi yang handal namun bukan media penafsir informasi yang baik. Prinsip agenda setting semakin mengerucutkan informasi apa saja yang diterima dan mempengaruhi apa yang dipikirkan oleh khalayak. Informasi yang telah diseleksi dan tidak lengkap menimbulkan persepsi yang hampir seragam pada mahasiswa yang menonton televisi, yang terkadang keliru. Pengetahuan yang mereka perolehpun hanya sebatas permukaan bila dibandingkan responden yang mengkonsumsi media cetak seperti majalah, surat kabar atau buku.
Acara televisi dewasa ini lebih banyak diisi oleh acara-acara hiburan serta sinetron yang banyak menampilkan kehidupan glamor dan kemewahan yang kontras dengan kehidupan masyarakat pada umumnya. Dampaknya, khalayak mendapatkan gambaran versi media mengenai apa itu kebahagiaan. Mereka yang tergantung pada media seperti televisi cenderung menganggap informasi yang didapatnya dari media sebagai sebuah kebenaran, akibatnya mereka rentan terhadap terpaan pesan yang memiliki muatan tertentu. Penonton sinetron atau infotainment cenderung berorientasi pada materi atau gaya hidup yang mengikuti trend. Mahasiswa penonton sinetron dan infotainment yang penulis amati, sebagian memiliki kecenderungan seperti itu. Prioritas mereka dalam hidup, misalnya, antara lain hendak memenuhi kebutuhan mereka akan gaya hidup yang menurut mereka ‘modern’. Sementara bagi yang lainnya, juga pemirsa televisi, ketika ditanya mengenai prioritas hidup mereka berniat membangun usaha untuk masa depan (walaupun dalam bahasa yang berbeda, namun memiliki orientasi yang sama).
Efek negatif lain dari media televisi adalah merusak kesabaran masyarakat bagi tumbuhnya masyarakat demokratis. Acara maupun iklannya, karena keterbatasan waktu, sering melukiskan ditemukannya berbagai solusi dengan begitu cepat dan gampang. Hampir semua mengaku bahwa tujuan utama mereka berkuliah adalah untuk mendapatkan pekerjaan kelak, bukan mendapatkan ilmu. Informasi ini lebih mendominasi dibandingkan bahwa keahlian dan ilmu jauh lebih berguna ketimbang gelar. Akibatnya banyak mahasiswa yang menganggap mata kuliahnya sebatas hafalan wajib atau dengan kata lain tidak cukup bermanfaat untuk didalami. Di sini kita temukan adanya indikasi pemikiran serba instan, atau kurangnya penghargaan terhadap kerja keras.
Efek kognitif pada penonton DVD pada tiap orang berbeda, dan lebih sulit diukur. Tidak seperti media televisi yang demokratis, dalam arti dapat dinikmati khalayak dari berbagai kalangan, DVD dikonsumsi berdasarkan kebutuhan (Uses and Gratifications) oleh khalayak yang lebih terbatas. Seorang mahasiswa penonton DVD yang penulis temui ‘meninggalkan’ media-media lainnya dan hanya terfokus pada media yang satu ini. Sebagai seorang mahasiswa, pilihannya pada media DVD untuk memenuhi kebutuhannya membentuk persepsi bahwa dunia tidak seserius yang dibayangkan seorang pemerhati acara news dan talk show misalnya. Cara pandangnya terhadap perkuliahan pun hanya sekedar proses mencari gelar yang akan mempermudahnya mencari pekerjaan kelak. Sisi positifnya, film-film yang ditontonnya (sebagian besar film populer remaja) memberikan informasi mengenai tata cara pergaulan dan bagaimana cara mengatasi persoalan dalam kehidupan. Sisi negatifnya selain yang telah disebutkan di atas adalah prioritasnya dalam hidup tak lebih dari mendapatkan kesenangan atau kemudahan dalam hidup.
Sementara pembaca buku lebih unggul dalam mengumpulkan informasi yang ia terima dibandingkan media massa lainnya. Seluruh mahasiswa yang penulis wawancarai bukan termasuk pembaca buku kelas berat. Rata-rata buku yang dibaca adalah novel dan komik. Pada urutan selanjutnya adalah buku-buku populer serta buku pengembangan diri. Buku-buku ilmiah atau pengetahuan hanya dibaca ketika tugas kuliah mengharuskan mereka melakukannya. Informasi yang bersifat menghibur dari novel dan komik dapat menumbuhkan imajinasi pada seseorang. Imajinasi dapat mendorong seseorang untuk berpikir kreatif atau sebaliknya, menjadi pengkhayal.




EFEK AFEKTIF MEDIA MASSA
Baron (1979); Fishbein and Azjen 1975 (dalam Baron, 1979); Kiesler and Munson 1975 (dalam Baron, 1979) mendefinisikan sikap sebagai kesatuan perasaan (feelings), keyakinan (beliefs), dan kecenderungan berperilaku (behavior tendencies) terhadap orang lain, kelompok, faham, dan objek-objek yang relatif menetap.
Ada tiga komponen sikap yaitu (1) afektif (affective), yang didalamnya termasuk perasaan suka tidak suka terhadap suatu objek atau orang; (2) kognitif, termasuk keyakinan tentang objek atau orang tersebut ; dan (3) perilaku, yaitu kecenderungan untuk bereaksi tertentu terhadap objek atau orang tersebut.
Dalam kaitannya dengan pembentukan dan perubahan sikap, pengaruh media massa dapat disimpulkan pada lima prinsip umum:
1. Pengaruh komunikasi massa diantarai oleh faktor-faktor seperti predisposisi personal, proses selektif, keanggotaan kelompok (atau hal-hal yang berkenaan dengan faktor personal).
2. Karena faktor-faktor ini, komunikasi massa biasanya berfungsi memperkokoh sikap dan pendapat yang ada, walaupun kadang-kadang berfungsi sebagai media pengubah (agent of change).
3. Bila komunikasi massa menimbulkan perubahan sikap, perubahan kecil pada intensitas sikap lebih umum terjadi daripada “konversi” (perubahan seluruh sikap) dari satu sisi masalah ke sisi yang lain.
4. Komunikasi massa cukup efektif dalam mengubah sikap pada bidang-bidang di mana pendapat orang lemah, misalnya pada iklan komersial.
5. Komunikasi massa cukup efektif dalam menciptakan pendapat tentang masalah-masalah baru bila tidak ada predisposisi yang harus diperteguh (Oskamp, 1977:149).
Artinya semua sikap bersumber pada organisasi kognitif – pada informasi dan pengetahuan yang dimiliki seseorang (Asch, 1952:563-564).
Singkatnya, sikap ditentukan oleh citra. Pada gilirannya, citra ditentukan oleh sumber-sumber informasi. Di antara sumber informasi yang paling penting adalah media massa.
Para peneliti kebanyakan tidak berhasil menemukan perubahan sikap yang berarti sebagai pengaruh media massa. Berbagai dalih dikemukakan, namun ada satu yang dapat menjelaskan dengan lebih baik mengapa demikian. Menurut Asch, semua sikap bersumber pada organisasi kognitif – pada informasi dan pengetahuan yang kita miliki. Sikap selalu diarahkan pada objek, kelompok, atau orang. Tidak akan ada teori sikap atau aksi-sosial yang tidak didasarkan pada penyelidikan tentang dasar-dasar kognitifnya.
Efek afektif media tentu saja ada, jika tidak demikian maka tidak ada gunanya segala upaya publik relation yang banyak dilakukan oleh politikus atau pengusaha di media. Media televisi punya dampak yang besar pada afeksi khalayaknya. Lewat televisi khalayak merasa terlibat secara emosional dengan tokoh yang ditampilkan. Contoh yang terbaru adalah gencarnya pemberitaan media tentang Obama, membuat khalayak yang paling tidak berkepentingan pun ikut gembira dengan kemenangannya. Demikian yang terjadi pada beberapa mahasiswa yang penulis temui. Namun seseorang yang memiliki informasi atau pengetahuan yang lebih luas tidak akan serta merta terpengaruh oleh realitas buatan media. Seorang mahasiswa yang termasuk kategori ini bahkan skeptis dan cenderung sinis dengan euphoria kemenangan Obama. Baginya kebijakan AS tak mungkin berbeda jauh siapapun pemenangnya. Sebaliknya beberapa responden juga menyatakan ketidakpeduliannya karena hal tersebut kurang menarik perhatian mereka bukan karena informasi atau pengetahuan mereka lebih baik.
Seperti yang dikemukakan Oskamp, pengaruh komunikasi massa diantarai oleh faktor-faktor seperti predisposisi personal, proses selektif, keanggotaan kelompok. Khalayak tidaklah seragam, mereka memiliki keunikan dan kesadaran individu. Bahkan dalam satu kelompok mahasiswa, penulis mendapatkan fakta-fakta yang jauh berbeda dan berlawanan.
Dalam studi komprehensifnya mengenai dampak media massa, Joseph T. Kappler melaporkan bahwa orang-orang mencari hiburan acapkali karena mereka ingin melepaskan tekanan emosinya dari beratnya kehidupan sehari-hari. Mereka ingin menentramkan perasaan dengan cara membaca komik, menonton film bioskop, serta menikmati acara hiburan di radio dan televisi. Di samping itu, hiburan juga berfungsi sebagai elemen penting kehidupan yang baik, bahkan juga bisa berfungsi sebagai simbol status. Paling tidak, hiburan membantu seseorang merasa gembira. Responden yang merupakan pembaca komik lebih memiliki sense of humor yang lebih tinggi.
Komik hiburan, novel, maupun film atau kartun, mampu mempengaruhi emosi (afeksi) pembaca atau penontonnya dengan lebih baik dari berita di surat kabar atau televisi. Mahasiswa yang memanfaatkan media sebagai hiburan, memiliki imajinasi atau daya khayal yang cukup tinggi. Prioritas hidup mereka juga lebih variatif, dan cenderung mengutamakan pemenuhan kebutuhan emosional (afeksi) mereka. Seorang mahasiswa yang merupakan pembaca buku, komik, suratkabar sekaligus pemirsa televisi, mempunyai cita-cita untuk melakukan perbaikan sosial terutama dimulai dari kalangan remaja. Kebetulan ia adalah seorang aktivis organisasi remaja muslim. Kepeduliannya pada kondisi remaja sekarang ini dipengaruhi oleh informasi yang ia peroleh dari media, sementara komik maupun novel tertentu turut mendukung sikap kritisnya terhadap kejahatan, masalah sosial, memperteguh harapan dan kedermawanan, sekaligus menebalkan semangat kerja kerasnya. Film kartun dan komik jepang yang banyak beredar sekarang ini memang banyak menyuguhkan khayalan serta kekerasan, namun di sisi lain mengandung pesan yang berhubungan dengan nilai-nilai kerja keras, kebaikan, semangat menolong orang lain, dan pesan moral bahwa kejahatan selalu kalah pada akhirnya. Sisi negatifnya, komik dan film kartun tidak membantu para mahasiswa untuk berpikir rasional, sebaliknya menciptakan pemikiran yang lebih emosional.








EFEK BEHAVIORAL MEDIA MASSA
Perilaku meliputi bidang yang luas, dalam kaitannya dengan tema makalah ini yang kita pilih ialah efek komunikasi massa pada perilaku sosial yang diterima (efek prososial behavioral).
Efek prososial media massa dapat dijelaskan oleh teori Belajar Sosial dari Bandura. Menurut Bandura, kita belajar bukan saja dari pengalaman langsung, tetapi dari peniruan atau peneladanan (modeling). Perilaku merupakan hasil factor-faktor kognitif dan lingkungan. Artinya, kita mampu memiliki keterampilan tertentu, bila terdapat jalinan positif antara stimuli yang kita amati dan karakteristik diri kita.
Bandura menjelaskan proses belajar social dalam empat tahapan proses: proses perhatian, proses pengingatan (retention), proses reproduksi motoris, dan proses motivasional. Proses belajar diawali munculnya peristiwa yang dapat diamati secara langsung oleh seseorangtertentu atau gambaran pola pemikiran, yang disebut Bandura sebagai abstract modelling – misalnya sikap, nilai, atau persepsi realitas social. Melalui media massa, seseorang dapat mengamati orang lain yang terlibat dalam perilaku tertentu di televisi, misalnya, dan dapat mempraktekkan perilaku itu dalm kehidupannya.
Menurut Bandura, peristiwa yang menarik perhatian ialah yang tampak menonjol dan sederhana, terjadi berulang-ulang, atau menimbulkan perasaan positif pada pengamatnya. Selain pengaruh factor personal, faktor-faktor lain sebagai penentu dalam pemilihan apa yang akan diperhatikan dan diteladani adalah: karakteristik demografis, kebutuhan, suasana emosional, nilai, dan pengalaman masa lalu.
Setelah pengamatan, proses selanjutnya adalah penyimpanan hasil pengamatan dalam pikiran untuk dipanggil kembali saat akan bertindak sesuai teladan yang diberikan. Kemudian pada proses reproduksi motoris seseorang menghasilkan kembali perilaku teladan atau tindakan yang diamatinya. Pelaksanaan perilaku teladan dapat terjadi ketika dikuatkan dengan suatu penghargaan atau motivasi. Inilah yang disebut proses motivasional.
Pembelajaran sosial terutama efektif dengan media massa seperti televisi, dimana kita mendapatkan kekuatan yang berlipat ganda dari model tunggal yang mengirimkan cara-cara berpikir dan berperilaku baru bagi banyak orang di lokasi yang berlainan.
Media massa mampu mempengaruhi perilaku khalayaknya. Menurut teori belajar sosial dari Bandura, orang cenderung meniru perilaku yang diamatinya; stimuli menjadi teladan untuk perilakunya. Hampir semua responden yang penulis amati berperilaku mengikuti trend yang ditampilkan oleh televisi. Cara berbicara dengan menggunakan bahasa gaul, cara berpakaian artis dalam sinetron, penggunaan produk-produk yang ditampilkan oleh iklan, sampai cara mengemukakan pendapat ala mahasiswa yang identik dengan demonstrasi dan membakar ban di jalan raya.
News, talkshow, sampai parodi politik mendorong pemirsanya bersikap kritis dan reaktif terhadap kebijakan pemerintah maupun kondisi sosial yang ada. Mahasiswa belajar dari tayangan-tayangan televisi tersebut bagaimana cara menghadapi permasalahan sosial maupun politik. Persoalannya memang tidak semua mahasiswa pemirsa tayangan televisi seperti news atau talkshow politik yang akan berperilaku kritis atau radikal seperti demonstrasi maupun bergabung dengan gerakan kiri misalnya. Khalayak harus sanggup menyimpan hasil pengamatannya dalam benaknya dan memanggil kembali saat mereka akan bertindak sesuai dengan teladan yang diberikan. Melaksanakan perilaku teladan itu bergantung pada motivasi. Motivasi bergantung pada peneguhan. Ada tiga macam peneguhan yang mendorong seseorang bertindak: peneguhan eksternal, peneguhan gantian (vicarious reinforcement), dan peneguhan diri (self-reinforcement). Jadi, contoh untuk berdemonstrasi di televisi atau suratkabar baru berhasil bila ada iklim yang memungkinkannya, misalnya bila orang lain tidak mencemooh atau mau menghargai tindakan kita.
Seseorang juga akan terdorong melakukan perilaku teladan bila ia melihat orang lain yang berbuat sama mendapat ganjaran karena perbuatannya. Kita memerlukan peneguhan gantian. Walaupun kita tidak mendapat ganjaran (pujian, penghargaan, status dan sebagainya). Tetapi melihat orang lain melihat orang lain mendapat gamjaran karena perbuatan yang ingin kita teladani akan membantu terjadinya proses reproduksi motorik.
Akhirnya tindakan teladan akan kita lakukan bila diri kita sendiri mendorong tindakan itu. Dorongan dari diri sendiri itu mungkin timbul dari perasaan puas, senang, atau dipenuhinya citra diri yang ideal. Kita akan melakukan demonstrasi bila kita yakin bahwa dengan cara itu kita memberikan kontribusi bagi masyarakat.


















KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa dampak media terhadap khalayak mahasiswa secara umum adalah:
1. Efek kehadiran media; sebagian besar mahasiswa memiliki perasaan positif pada media televisi dibandingkan media lainnya. Karenanya televisi lebih mendapat kepercayaan sebagai sumber informasi dan hiburan. Efek kehadiran televisi pada mahasiswa adalah penjadwalan ulang berbagai kegiatan. Kegiatan mereka, termasuk kuliah, ikut terpengaruh oleh jadwal acara televisi yang mereka tonton.
2. Efek Kognitif media; media merupakan sumber informasi yang membantu mahasiswa untuk memperoleh pengetahuan mengenai berbagai aspek kehidupan. Efek kognitif yang positif memberikan wawasan yang luas kepada para mahasiswa dan membantunya memahami berbagai persoalan. Efek negatifnya adalah memberikan pandangan yang keliru atau parsial mengenai dunia, juga menanamkan ideologi tertentu yang akan mempengaruhi sikap dan perilakunya kemudian. Namun efek kognitif yang positif masih kurang di kalangan mahasiswa. Efek kognitif inilah yang mendasari perubahan sikap dan perilaku seseorang dan mempengaruhi prioritasnya dalam hidup.
3. Efek afektif media; selain memberikan informasi, media memberikan efek emosional pada diri khalayaknya. Efek afektif media diantaranya mampu mempengaruhi khalayak mahasiswa untuk lebih peduli pada masalah sosial yang terjadi di masyarakat.
4. Efek behavioral media; media juga dapat mempengaruhi perilaku khalayaknya. Sebagian besar, jika tidak semua, mahasiswa mengikuti teladan yang diberikan media. Perilaku dan gaya hidup yang ditampilkan televisi banyak ditiru di kehidupan nyata.







[1] Studi mengenai Marshal McLuhan tentang Medium adalah Pesan:  http://en.wikipedia.org/wiki/Marshall_McLuhan
[2] Wisnu Arya Wardhana. 1994. Teknik Analisis Radioaktif Lingkungan. Yogyakarta: Andi Offset. Hal. 3.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar